Jakarta –
Layang-layang identik sebagai mainan anak-anak. Tetapi, ternyata Ke balik sebuah layang-layang terdapat Prototipe spiritual dan Kearifan Lokal yang melekat.
Dosen Institut Karya Seni Kearifan Lokal Global Indonesia (ISBI) Bandung sekaligus pegiat permainan tradisional, Zaini Alif, menjelaskan bahwa layang-layang merupakan sebuah media spiritual Dari zaman dahulu kala. Penemuan lukisan Ke batu Ke gua Ke Daerah Muna, Sulawesi Tenggara merupakan sebuah ritual Untuk menghantarkan roh seseorang yang meninggal Ke langit.
“Sebagai ritual spiritualitas Karena Itu bagaimana layang-layang itu sebagai media menghantarkan orang yang sudah meninggal itu Ke atas, diantar menggunakan layang-layang itu. Karena Itu seseorang yang sudah meninggal rohnya itu perlu guide (pemandu) Untuk dia sampai Ke atas, nah layang-layang itu sebagai penghantar guideline dia Untuk mengantar roh Ke-Nya. Melewati layang-layang itu Di Prototipe ritual,” kata Zaini Di dihubungi detikTravel, Kamis (4/7/2024).
Bukan hanya itu, ia menambahkan, jika sebetulnya layang-layang sebagai permainan itu adalah perkembangan Ke masa kini. Jika Memikat ingatan Ke Di Di informasi yang didapatnya, menerbangkan layang-layang merupakan sebuah pekerjaan yang dilakukan Dari anak-anak. Ya, pekerjaan.
Karena Itu jika orang dewasa Memiliki pekerjaan selayaknya Di ini, anak-anak pun melakukan pekerjaannya Di yang kita kenal sekarang, yakni bermain. Layang-layang juga dipakai sebagai media pembelajaran anak Untuk mengenal serta mempelajari tentang angina.
“Nah permainan yang ada Ke gambar Ke gua layang-layang itu memang bukan menjadi atau bukan Dibagian Di permainan, Karena Itu permainan itu kalau Ke waktu saya baca naskah Siksa Markas Karesian bahwa itu sebuah pekerjaan saja,” kata Zaini.
“Bermain itu Mungkin Saja bisa dikatakan tidak ada Sebab yang kita sebut permainan itu adalah semua pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan, nah itu dibuktikan Di hasil Eksperimen saya bahwa ketika saya meneliti Ke Baduy itu mereka tidak menyebut itu permainan tapi menyebutnya pagawean barudak (pekerjaan anak-anak),” ujar dia.
“Karena Itu usia dewasa mereka punya pekerjaan dan anak-anak juga punya pekerjaan, yang pekerjaannya itu menyerupai konteks bermain seperti Di ini tapi mereka nggak pernah menyebut kata bermain. Termasuk Ke layang-layang ini juga Ke waktu itu bukan sebuah permainan tapi alat, media orang tua dan dewasa Untuk bagaimana ketika anak kecil dia mengenal angina sebagai Dibagian Di Prototipe penyuburan tanah dan sebagainnya,” Zaini menambahkan.
Di pembelajaran Di muncullah yang disebut Di syukur angin, Ke mana anak-anak menjilat jarinya Untuk menentukan arah angin dan menerbangkan layang-layang. Menurut Zaini itu merupakan wujud Di sebuah pembelajaran Di masa lalu, Lalu Ke Kerajaan Batu Sangkar ungkap Di prosesi pemilihan raja juga menggunakan media layang-layang.
Nantinya dilihat Di bagaimana Kandidat raja tersebut menerbangkan layang-layang, menjaga Kesejaganan hingga mengerti arah angin.
“Malahan ketika Ke Kerajaan Batu Sangkar saya baca Di beberapa Eksperimen mengatakan bahwa ketika menentukan raja Ke Kerajaan Batu Sangkar tuh ditentukan salah satunya Di layang-layang. Karena Itu bagaimana dia menerbangkan, nah konteks itu pembelajaran Untuk bagaimana dia bersinergi Di Kelompok, alam, penguasa, dan sebagainya,” kata dia.
“Apakah ketika layang-layang terbang dia mampu mengendalikan, mengikuti arah angin, Lalu respek Di perubahan angin gitu, banyak hal yang Lalu konteks itu menjadi Dibagian Di penentuan raja,” ujar Zaini.
Mewujudkan Sesuatu yang Tidak Ada Menjadi Ada
Layang-layang yang diterbangkan bukan sekadar Untuk permainan. Layang-layang yang berada Ke udara, dikendalikan Di seutas benang, Menunjukkan fakta bahwa angin merupakan sebuah anugerah yang bisa dibuktikan. Melewati angin pula Kelompok zaman dulu mampu menentukan kapan mereka Untuk bercocok tanam.
Selain menerbangkan layang-layang sebagai pembuktian keberadaan angin, layang-layang juga sebagai ucapan syukur mereka kepada Sang Maha Kuasa Di adanya upacara syukur angin.
“Layang-layang adalah Dibagian Di prosesi itu, prosesi bagaimana angin menjadi Dibagian Di Kelompok kita yang agraris. Angin itu sebagai media penyerbukan yang membantu para petani (tanamannya) subur, angin itu Menyediakan kontribusi Di dia, bagaimana angin barat-angin timur yang menentukan hujan dan kapan dia harus menanam padi, kapan dia harus mengurus dan mengolah, dan sebagainya. Maka muncullah upacara-upacara syukur angin itu,” ujar Zaini.
Bukan hanya layang-layang, upacara syukur angin Ke beberapa Daerah juga disimbolisasikan Melewati kolecer (Sunda), kindekan (Bali), dan cipiran (Jawa). Zaini menyebut layang-layang dan alat lainnya itu merupakan aspek spiritual Ke sesuatu yang tidak ada menjadi ada.
“Di proses pembelajaran Ke waktu itu dia Akansegera mewujudkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, cipiran dia Menyita angin dan angin itu memutarkan cipiran dan bersuara. Maka Lalu suara itulah yang membuktikan wujud Di angin tersebut ada dan hadir,” kata Zaini.
Artikel ini disadur –> Detik.com Indonesia Berita News: Kisah Mendalam Ke Balik Sebuah Layang-layang yang Diterbangkan











